Saat
terdiam dan merasa sepi, aku selalu teringat kisah ini dalam gelapnya pandangan
di mata yang terpejam. Hanya senyum yang terkembang bisa menyatakan bahwa ini
salah satu kisah yang masih aku simpan di antara padatnya memori hatiku sampai
di lepas usia 20 tahun ini.
Fikiran
ini membawaku ke tahun 1998. Bagai layar buram, aku melihat sosokmu yang lebih
sedikit mungil di banding teman-teman yang lain. Aku tahu kamu tetanggaku,
rumah ke lima dari depan rumahku dengan suara mesin jahit yang biasa di pakai
ayahmu. Tiap pagi aku selalu bertemu denganmu saat ikut ibu berbelanja, sudah
mesti kamu selalu bangun tidur dan meringkuk di gendongan ibumu yang cantik.
Bisa aku tebak pasti yang kamu cari adalah kue serabi. Aku gak ngerti kenapa
kamu suka kue itu, padahal warnanya tidak menarik. Tidak seperti kue dadarku
yang selalu berwarna hijau atau kadang merah jambu.
Besok
penerimaan siswa siswi TK KARTINI 1. Aku masih duduk manis, menikmati setiap
rambutku yang di potong, biar cantik
katanya. Tangisanmu mengganggu, aku heran kenapa kamu gak mau potong rambut
padahal itu akan membuat kamu ganteng. Kamu masih meronta seperti orang gila,
membuat aku bangga karena ibumu bilang kamu manja gak kayak aku. Kini,
giliranmu... kamu makin blingsatan, marah sampai merah. Rupanya kamu belum rela
melepas kuncirmu yang seperti ekor tikus itu. Akhirnya ceritamu di batalkan,
kamu gak jadi potong rambut.
Pagi
itu cerah, aku terkagum-kagum dengan hamparan rumput sekolah. Aku belum pernah
melihat benda hijau seluas itu sebelumnya, kecuali karpet musollah. Aku ingat
betul waktu itu aku memakai batik biru dengan rok putih baru. Sedangkan kamu
memakai baju monyet warna biru juga. Aku duduk berdua denganmu, menunggu ibu
kita menyelesaikan pendaftaran. Kamu begitu pendiam, lagi-lagi kamu menangis.
Padahal saat itu aku bersamamu, bahkan aku mau berbagi minum denganmu.
“Kamu kenapa nangis melulu sih?”
“Ibuuuk...!”
“Sssstt... kamu berisik...!”
Ibumu
menggendongku kerumahmu, lalu menurunkanku tepat di sampingmu. Katanya kita
harus selalu bersama, karena teman harusnya begitu. Hari itu kamu meminjamkanku
sepeda, aku hanya menuntunnya karena aku memang tidak bisa naek sepeda. Kamu
baik, makanya aku selalu menolak saat ibuku mengajak pulang.
Hari
itu, hari pertama kita sekolah. Ibu guru memisahkan kita, katanya karena aku
perempuan dan kamu anak laki-laki. Aku senang-senang saja, karena aku sudah
menemukan teman-teman yang bisa aku ajak bermain boneka, bukan hanya sekedar
menuntun sepeda buta. Lagi-lagi kamu menangis, entah berapa kali ibumu harus
turun tangan supaya kamu diam.
Entah
berapa lama waktu yang berlalu, sepertinya kamu sudah banyak teman laki-laki.
Kuncir ekor tikusmu juga sudah tak ada, kini sudah berganti dengan kepalamu
yang botak dengan sedikit rambut di depannya. Lebih senangnya aku, kamu sudah
jarang nangis bahkan saat ibumu sudah gak menemanimu di teras sekolah. Kamu
juga sudah jarang membuntutiku kemana-mana. Kamu sudah asik sekali dengan
teman-temanmu yang suka bikin onar itu, onar-onar anak TK.
Suatu
hari kamu bikin bu guru gila, karena kamu tidak kembali dari istirahat tadi.
Aku duduk sabar di becak, sambil mengingat-ingat lagu Balonku yang di ajarkan
bu guru tadi pagi. Aku kesal kenapa kamu belum datang, padahal aku mau tanya
balon apa yanng harusnya meletus. Aku gak percaya sama tukang becak yang bilang
kalo balon hijaulah yang meletus, karena aku gak mungkin mau kalo warna hijau
yang meletus. Hijau itu warna kue dadarku. Ok, akhirnya kamu kembali... seperti
biasa, kamu nangis lagi. Kamu manja...
2000
Kita
sudah SD.
Wow,
tempat itu ada banyak orang. Ada kelas 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Kamu ingat Fauzan
gak? Dia ganteng, aku suka. Tapi dia nakal, suka narik-narik rambutku, dan kamu
selalu membelaku meski kamu tahu benar kamu itu sudah pasti kalah ngelawan
Fauzan yang tinggi itu. Ah, cinta monyet itu berlangsung sampai aku kelas 6.
Sedangkan kamu...? apa? Ternyata hobimu membuntutiku terulang kembali. Tapi aku
kesal, kamu kan harusnya main sama teman laki-laki bukan gabung sama genk ku.
Lagi-lagi kamu nangis. Huuft... tapi tak apalah, asal kamu mau aku suruh minta biodata
Ilul, teman abangmu yang lebih ganteng dari Fauzan itu. Yess... kamu dapet,
kamu gawat. Tapi sepertinya kamu gak suka aku bahagia, hingga akhirnya saat
masa kelas 6 usai, pertemanan kitapun ikut usai.
2007
SMP
Aku
bener-bener gak nyangka akan ngelewati masa putih biru tanpa kamu. Sedih sekali
rasanya pas aku tahu kamu memang meilih sekolah lain agar gak bareng sama aku.
Aku khawatir sama kamu, kamu kan lemah banget jadi cowok. Tapi aku benci sama
kamu, kenapa sih kamu harus balik badan kalo ketemu aku. Gak pernah balas
surat-suratku? Bahkan sampai membakarnya. Aku tahu cewekmu cantik, tapi masa
kamu lupa sama aku?, kamu gak mau tahu tah aku suka sama siapa sekarang?.
Nah,
benar kan... gara-gara cewek aku dengar kamu di pukuli kakak kelasmu. Coba aja
kamu sekolah sama aku pasti aku belain kamu, karena ku lebih sedikit mirip
laki-laki disini. Aku kesal kamu lemah, pantas saja ayahmu bilang kamu itu
lembek seperti perempuan. Berubah dong...! tapi yaaah... harusnya kamu gak
senekat itu. Kabur dari rumah, ngerokok, bolos, dan skors jangan di biasakan.
Tapi, apa mau di kata kamu sepertinya sudah mau menunjukkan bahwa kamu memang
bukan perempuan. Akhirnya kamu gak di dukung masukk SMA kan... hilang sudah
harapanku bisa satu sekolah lagi sama kamu.
2009
Aku
memulai masa putih abu-abuku, dengan semangat dan gembira meski tanpa kamu. Aku
mulai aktif di organisasi, benar-benar mengikuti ekstrakurkuler dengan baik.
Aku tak berani lagi mendekatimu, meminta maafmu. Aku makin sedih ketika
mendengar kabar kamu bekerja, benar-benar gak mau aku bayangkan kamu
berkeringat karena lelah. aku hanya ingin izinmu untuk melihat dan
mendo’akanmu. Tak pernah aku jemu mendengarkan alunan melodi gitar yang kau
mainkan. Selalu aku bertanya siapakah orang yang kau bayangkan saat kamu petik
gitarnya. Kini kamu tinggi jangkung, sudah tak ada suara tangis mungil saat
kamu merasa tertekan. Aku dengar hubungnmu dengan ayahmu juga tak baik,
sampai-sampai ibumu harus bekerja ke luar kota. Aku takut kamu kesepian. Ah,
maukah kamu kalau aku kembali...?.
Lebaran
tahun ke 3 masa SMA.
Pagi
itu masih ada sisa suara takbir. Aku menunduk diam di teras rumah sudah lebaran
ke 5 kamu tak datang. Tapi uluran tangan itu mengagetkanku, saat aku mengangkat
wajah ingin sekali rasanya aku berlari.
Itu kamu... inget gak?. Aku, aku, aku, aku maluuuu.... dan akhirnya ku sambut
uluran tangnmu, tanpa kata, tanpa suara. Aku hanya bisa memandang punggungmu
yang berlalu... sambil berteriak girang dalam hati “Apa kamu sudah
kembaliiiii...???!”
Ternyata
tidak.
Kamu
tetap pasif seperti biasa.
Apa
kamu malu?
Hmm...
ok...! baiklah...
Akhirnya
aku lulus sekolah. Aku tidak bisa mencapai cita-citaku untuk kuliah ke Malang.
Aku down... aku keinget kamu. Siapa lagi temanku setelah ini...?, apa kamu
peduli...?!
22
November 2011
“HBD
yah . . .”
Itu
pesanmu di aku FB ku. Aku girang bukan kepalang. Tanpa babibu aku pasang alarm
19 Agustus aku tak boleh lupa ngucapin selamat ulang tahun padamu secara semi
live. Gak hanya cuma nyanyi Selamat Ulang Tahun sambil mantengin kamarmu setiap
ja 00.00 seperti 5 tahun belakangan ini.
2012
Aktif
aktifnya kuliah.
Keluargaku
berantakan. Ingatkah malam itu aku bertengkar hebat dengan ayahku, lalu berlari
keluar dan tak sengaja tertubruk padamu. Kamu hanya menahanku sebentar, “Jangan
kemana-mana Tik?”, aku bahagia kamu mengkhawatirkanku... tapi saat itu tidak
tepat untuk kita bernostalgia. Maafkan aku.... Aku berjalan di tengah malam
yang berair tanpa alas kaki, tanpa tujuan. Aku mengingat kata terakhir... suara
pertama yang kau tujukan padaku setelah 7 tahun tak pernah berbicara langsung
padaku. “Aku gak akan pernah lupain kamu... sampai kapanpun kamu akan aku
utamakan...”
2013
Aku
pindah rumah. Kita sudah tak lagi bertetangga. Aku gak bisa lagi denger kamu
mainin gitar dan menyanyi, gak bisa lagi liat kamu jalan depan rumah. Aku rindu....
4 Fame Shine