Selasa, 26 Februari 2013

Stand by me




Saat terdiam dan merasa sepi, aku selalu teringat kisah ini dalam gelapnya pandangan di mata yang terpejam. Hanya senyum yang terkembang bisa menyatakan bahwa ini salah satu kisah yang masih aku simpan di antara padatnya memori hatiku sampai di lepas usia 20 tahun ini.

Fikiran ini membawaku ke tahun 1998. Bagai layar buram, aku melihat sosokmu yang lebih sedikit mungil di banding teman-teman yang lain. Aku tahu kamu tetanggaku, rumah ke lima dari depan rumahku dengan suara mesin jahit yang biasa di pakai ayahmu. Tiap pagi aku selalu bertemu denganmu saat ikut ibu berbelanja, sudah mesti kamu selalu bangun tidur dan meringkuk di gendongan ibumu yang cantik. Bisa aku tebak pasti yang kamu cari adalah kue serabi. Aku gak ngerti kenapa kamu suka kue itu, padahal warnanya tidak menarik. Tidak seperti kue dadarku yang selalu berwarna hijau atau kadang merah jambu.

Besok penerimaan siswa siswi TK KARTINI 1. Aku masih duduk manis, menikmati setiap rambutku yang di potong, biar  cantik katanya. Tangisanmu mengganggu, aku heran kenapa kamu gak mau potong rambut padahal itu akan membuat kamu ganteng. Kamu masih meronta seperti orang gila, membuat aku bangga karena ibumu bilang kamu manja gak kayak aku. Kini, giliranmu... kamu makin blingsatan, marah sampai merah. Rupanya kamu belum rela melepas kuncirmu yang seperti ekor tikus itu. Akhirnya ceritamu di batalkan, kamu gak jadi potong rambut.

Pagi itu cerah, aku terkagum-kagum dengan hamparan rumput sekolah. Aku belum pernah melihat benda hijau seluas itu sebelumnya, kecuali karpet musollah. Aku ingat betul waktu itu aku memakai batik biru dengan rok putih baru. Sedangkan kamu memakai baju monyet warna biru juga. Aku duduk berdua denganmu, menunggu ibu kita menyelesaikan pendaftaran. Kamu begitu pendiam, lagi-lagi kamu menangis. Padahal saat itu aku bersamamu, bahkan aku mau berbagi minum denganmu.
                “Kamu kenapa nangis melulu sih?”
                “Ibuuuk...!”
                “Sssstt... kamu berisik...!”

Ibumu menggendongku kerumahmu, lalu menurunkanku tepat di sampingmu. Katanya kita harus selalu bersama, karena teman harusnya begitu. Hari itu kamu meminjamkanku sepeda, aku hanya menuntunnya karena aku memang tidak bisa naek sepeda. Kamu baik, makanya aku selalu menolak saat ibuku mengajak pulang.

Hari itu, hari pertama kita sekolah. Ibu guru memisahkan kita, katanya karena aku perempuan dan kamu anak laki-laki. Aku senang-senang saja, karena aku sudah menemukan teman-teman yang bisa aku ajak bermain boneka, bukan hanya sekedar menuntun sepeda buta. Lagi-lagi kamu menangis, entah berapa kali ibumu harus turun tangan supaya kamu  diam.

Entah berapa lama waktu yang berlalu, sepertinya kamu sudah banyak teman laki-laki. Kuncir ekor tikusmu juga sudah tak ada, kini sudah berganti dengan kepalamu yang botak dengan sedikit rambut di depannya. Lebih senangnya aku, kamu sudah jarang nangis bahkan saat ibumu sudah gak menemanimu di teras sekolah. Kamu juga sudah jarang membuntutiku kemana-mana. Kamu sudah asik sekali dengan teman-temanmu yang suka bikin onar itu, onar-onar anak TK.

Suatu hari kamu bikin bu guru gila, karena kamu tidak kembali dari istirahat tadi. Aku duduk sabar di becak, sambil mengingat-ingat lagu Balonku yang di ajarkan bu guru tadi pagi. Aku kesal kenapa kamu belum datang, padahal aku mau tanya balon apa yanng harusnya meletus. Aku gak percaya sama tukang becak yang bilang kalo balon hijaulah yang meletus, karena aku gak mungkin mau kalo warna hijau yang meletus. Hijau itu warna kue dadarku. Ok, akhirnya kamu kembali... seperti biasa, kamu nangis lagi. Kamu manja...

2000
Kita sudah SD.
Wow, tempat itu ada banyak orang. Ada kelas 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Kamu ingat Fauzan gak? Dia ganteng, aku suka. Tapi dia nakal, suka narik-narik rambutku, dan kamu selalu membelaku meski kamu tahu benar kamu itu sudah pasti kalah ngelawan Fauzan yang tinggi itu. Ah, cinta monyet itu berlangsung sampai aku kelas 6. Sedangkan kamu...? apa? Ternyata hobimu membuntutiku terulang kembali. Tapi aku kesal, kamu kan harusnya main sama teman laki-laki bukan gabung sama genk ku. Lagi-lagi kamu nangis. Huuft... tapi tak apalah, asal kamu mau aku suruh minta biodata Ilul, teman abangmu yang lebih ganteng dari Fauzan itu. Yess... kamu dapet, kamu gawat. Tapi sepertinya kamu gak suka aku bahagia, hingga akhirnya saat masa kelas 6 usai, pertemanan kitapun ikut usai.

2007
SMP
Aku bener-bener gak nyangka akan ngelewati masa putih biru tanpa kamu. Sedih sekali rasanya pas aku tahu kamu memang meilih sekolah lain agar gak bareng sama aku. Aku khawatir sama kamu, kamu kan lemah banget jadi cowok. Tapi aku benci sama kamu, kenapa sih kamu harus balik badan kalo ketemu aku. Gak pernah balas surat-suratku? Bahkan sampai membakarnya. Aku tahu cewekmu cantik, tapi masa kamu lupa sama aku?, kamu gak mau tahu tah aku suka sama siapa sekarang?.
Nah, benar kan... gara-gara cewek aku dengar kamu di pukuli kakak kelasmu. Coba aja kamu sekolah sama aku pasti aku belain kamu, karena ku lebih sedikit mirip laki-laki disini. Aku kesal kamu lemah, pantas saja ayahmu bilang kamu itu lembek seperti perempuan. Berubah dong...! tapi yaaah... harusnya kamu gak senekat itu. Kabur dari rumah, ngerokok, bolos, dan skors jangan di biasakan. Tapi, apa mau di kata kamu sepertinya sudah mau menunjukkan bahwa kamu memang bukan perempuan. Akhirnya kamu gak di dukung masukk SMA kan... hilang sudah harapanku bisa satu sekolah lagi sama kamu.


2009
Aku memulai masa putih abu-abuku, dengan semangat dan gembira meski tanpa kamu. Aku mulai aktif di organisasi, benar-benar mengikuti ekstrakurkuler dengan baik. Aku tak berani lagi mendekatimu, meminta maafmu. Aku makin sedih ketika mendengar kabar kamu bekerja, benar-benar gak mau aku bayangkan kamu berkeringat karena lelah. aku hanya ingin izinmu untuk melihat dan mendo’akanmu. Tak pernah aku jemu mendengarkan alunan melodi gitar yang kau mainkan. Selalu aku bertanya siapakah orang yang kau bayangkan saat kamu petik gitarnya. Kini kamu tinggi jangkung, sudah tak ada suara tangis mungil saat kamu merasa tertekan. Aku dengar hubungnmu dengan ayahmu juga tak baik, sampai-sampai ibumu harus bekerja ke luar kota. Aku takut kamu kesepian. Ah, maukah kamu kalau aku kembali...?.

Lebaran tahun ke 3 masa SMA.
Pagi itu masih ada sisa suara takbir. Aku menunduk diam di teras rumah sudah lebaran ke 5 kamu tak datang. Tapi uluran tangan itu mengagetkanku, saat aku mengangkat wajah ingin sekali  rasanya aku berlari. Itu kamu... inget gak?. Aku, aku, aku, aku maluuuu.... dan akhirnya ku sambut uluran tangnmu, tanpa kata, tanpa suara. Aku hanya bisa memandang punggungmu yang berlalu... sambil berteriak girang dalam hati “Apa kamu sudah kembaliiiii...???!”

Ternyata tidak.
Kamu tetap pasif seperti biasa.
Apa kamu malu?
Hmm... ok...! baiklah...

Akhirnya aku lulus sekolah. Aku tidak bisa mencapai cita-citaku untuk kuliah ke Malang. Aku down... aku keinget kamu. Siapa lagi temanku setelah ini...?, apa kamu peduli...?!

22 November 2011
“HBD yah . . .”
Itu pesanmu di aku FB ku. Aku girang bukan kepalang. Tanpa babibu aku pasang alarm 19 Agustus aku tak boleh lupa ngucapin selamat ulang tahun padamu secara semi live. Gak hanya cuma nyanyi Selamat Ulang Tahun sambil mantengin kamarmu setiap ja 00.00 seperti 5 tahun belakangan ini.

2012
Aktif aktifnya kuliah.
Keluargaku berantakan. Ingatkah malam itu aku bertengkar hebat dengan ayahku, lalu berlari keluar dan tak sengaja tertubruk padamu. Kamu hanya menahanku sebentar, “Jangan kemana-mana Tik?”, aku bahagia kamu mengkhawatirkanku... tapi saat itu tidak tepat untuk kita bernostalgia. Maafkan aku.... Aku berjalan di tengah malam yang berair tanpa alas kaki, tanpa tujuan. Aku mengingat kata terakhir... suara pertama yang kau tujukan padaku setelah 7 tahun tak pernah berbicara langsung padaku. “Aku gak akan pernah lupain kamu... sampai kapanpun kamu akan aku utamakan...”

2013
Aku pindah rumah. Kita sudah tak lagi bertetangga. Aku gak bisa lagi denger kamu mainin gitar dan menyanyi, gak bisa lagi liat kamu jalan depan rumah. Aku rindu....

4 Fame Shine




0 komentar:

Posting Komentar